Background Image

TRADISI SIAT SAMPIAN DI BEDULU GIANYAR

@k_conciergebali

Siat Sampian adalah tradisi unik yang rutin digelar di Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Tradisi ini digelar setiap setahun sekali yaitu bertepatan dengan Purnama Jiyestha, bulan 11 kalender Bali, atau sekitar bulan Mei pada kalender Masehi, bertepatan dengan bulan penuh (purnama). Pura Samuan Tiga adalah pura peninggalan masa lampau yang merupakan tempat atau tonggak sejarah bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali masa silam. Siat Sampian berasal dari kata siat yang berarti perang dan sampian yang berarti rangkaian janur yang dipakai sebagai sarana upacara keagamaan. Sarana sampian tersebut digunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan.

Tidak sembarangan orang bisa terlibat dalam tradisi Siat Sampian, meskipun orang tersebut masih termasuk penduduk dari Desa Bedulu, Gianyar. Jumlah pengayah atau peserta Siat Sampian ini juga berbeda-beda. Jumlah pengayah laki-laki biasanya lebih banyak, bisa mencapai ratusan, sedangkan pengayah perempuan kurang lebih 35 orang dari Desa Adat Bedulu. Peserta yang sudah ditunjuk harus dengan iklas dan senang hati menjalankan perintah dari Ida Bhatara.

Ada 2 tahap dalam melakukan tradisi Siat Sampian. Tahap Pertama dilakukan oleh kelompok perempuan “Jero Permas” dan tahap kedua dilakukan oleh kelompok laki-laki “jero Parekan”. Untuk Jero Permas memiliki waktu dari matahari terbit sampai setengah hari atau sekitar jam 12 siang. Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan dalam tahap pertama yang dilakukan oleh Jero Permas :

  1. Kegiatan Nampiog atau menari berkeliling pura sebanyak sebelas kali searah jarum jam dari kanan ke kiri.
                                                                  @thealenaresort
  2. Kegiatan Nyober Nyambung. Dalam prosesi ini, pinggang Jero Permas diikat menggunakan selendang  putih. Selendang ini pula yang dikibarkan di barisan secara sambung menyambung.
  3. Kegiatan Ngombak yang dilaksanakan di jaba pura. Kegiatan ini menirukan gaya ombak, dimana para pengayah atau peserta berbaris dengan berpegangan satu sama lain dan mengikuti gerakan maju mundur sambil berteriak atau mesuryak. Mereka pun berusaha agar dapat memegangi bangunan suci di pura.                                                                   @ajidarma2
  4. Kegiatan Ngindang. Jero Permas mengambil sampian, dimana satu orang bisa mendapat satu atau lebih sampian. Saat semua pengayah perempuan sudah memegang sampian, maka perang sudah bisa dimulai. Setiap peserta memandang lawan mainnya sebagai musuh untuk dikalahakan. Untuk menentukan pemenang dari kegiatan ini, dilihat dari peserta yang bisa memukul lawan atau musuhnya sebanyak tiga kali dengan menggunakan senjata sampian. Setelah menentukan pemenangnya, pertunjukan untuk Jero Permas berakhir dan para pengayah meletakan kembali sampian yang digunakan ke tempat sebelumnya.

Setelah pertandingan Jero Permas selesai, dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu pertandingan Jero Parekan yang pesertanya mencapai ratusan laki-laki. Diawali dengan kegiatan Ngombak, sama halnya dengan Jero Permas. Setelah itu dilanjutkan dengan berlari keliling pura sebanyak tiga kali searah dengan jarum jam. Lalu para Jero Parekan muspa atau melakukan persembahyangan. Pada saat muspa, Jero Parekan sudah mengalami kerasukan semangat pertempuran. Setelah muspa, peperangan pun tidak bisa ditahan lagi, seperti pada peperangan kurusetra yang jumlahnya ratusan orang, mereka saling kejar-mengejar, memukul, dan juga menghindar. Ditambah dengan iringan tabuh, mereka semakin semangat dan mengebu-gebu dalam kegiatan tersebut. Aturan yang berlaku untuk Jero Parekan masih sama halnya dengan aturan yang diberikan untuk Jero Permas. Dalam peperangan ini mereka tidak memperdulikan mana kawan mana lawan, mereka sama-sama berperang untuk menang. Siapa yang bisa memukul lawannya sebanyak tiga kali, maka ialah pemenangnya

@wybudiana

Selain sebagai penghormatan bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali, tradisi Siat Sampian ini diartikan juga sebagai simbol perlawanan dharma (kebajikan) atas adharma (kejahatan). Hal ini terlihat dari adanya sampian yang merupakan simbol senjata cakra Dewa Wisnu. Dengan digelarnya Tradisi Siat Sampian, diharapkan penduduk Desa Bedulu Gianyar selalu dilimpahkan ketenteraman dan kerukunan sesama penduduk Desa Bedulu.

 

No Comments

Post a Comment